Cerita Lala #2
Bahagia itu dekat pada hati yang bersykur :)
Senin
adalah hari yang paling melelahkan bagiku. Bagaimana tidak ? hari ini,
adalah hari tersibuk dari tujuh hari yang ada. Mulai dari aku yang harus
berangkat pagi-pagi untuk melaksanakan piket kelas, jam pelajaran
pertamaku harus bertemu dengan Ibu Wirda, belum lagi diikuti dengan
pelajaran yang semuanya berbau eksak. Rasanya sesak sekali.
Yang
ada di otakku cuma kalimat ‘Badai pasti berlalu’, sesulit apapun hari
pasti akan selalu berakhir. Pagi akan diakhiri malam, matahari yang
terbit akan selalu tenggelam di kala senja tanpa perlu diatur. Maka
kekuatan untuk menjalani segala sesuatunya telah tertanam dalam benakku.
‘Pokoknya jalani aja, baik atau buruk hasilnya itu urusan belakangan.
Ikhlas gak ikhlas pokoknya jalanin.. !’. Fiuuhhh….
“Lala..”, terdengar suara sepatu mendekat dari belakang. Ternyata Fahmi, ketua ekskul Cool Magz di sekolah.
“Oh.. Fahmi, kenapa ?”, jawabku seraya menoleh ke arahnya.
“Aku cuma mau bilang, jangan lupa nanti ada rapat anggota pengurus Cool Magz habis pulang sekolah”, katanya mengingatkan.
“Oh iya, tentang acara kita yang mau bakti sosial itu ya ? Oke sip bos, nggak bakal lupa kok”, kataku sambil tersenyum lugu.
“Oke.., duluan ya..”, sambung Fahmi, kemudian pergi.
Di
sekolah, aku tergabung dalam 2 organisasi, yaitu OSIS dan Cool Magz
(School Magazine). Selain belajar, 2 hal itulah yang membuatku cukup
sibuk. Harapanku untuk selalu bisa bermanfaat dan berkontribusi untuk
orang banyak adalah dengan mewadahi diriku sendiri untuk bersosialisasi
ke masyarakat. Salah satu caranya, menurutku dengan ikut andil dalam
kegiatan-kegiatan didalamnya.
***
Bel tanda
pulang sekolah berbunyi. Kulihat rak di depan ruang redaksi Cool Magz
mulai dipenuhi dengan sepatu-sepatu dari kejauhan.
“Assalamualaikum.. oh, udah rame..”, sapaku ramah.
Benar
saja, ruangan redaksi sudah hampir penuh dengan para anggota. Aku pun
langsung mengambil tempat duduk di sebelah Syifa, sahabatku.
“Kamu dari mana La ? tadi aku tungguin depan kelas nggak ada, makanya aku duluan”, tanyanya agak bingung.
“Iya,
tadi kan aku keluar kelas duluan. Aku mau ke toilet dulu soalnya”,
jawabku menenangkan. Sambil menunggu yang lainnya, aku, Syifa, dan teman
lainnya asyik berdiskusi tentang berita-berita yang sedang hangat
dibicarakan.
“ Baiklah, karena anggota sudah lengkap, mari
kita buka rapat kali ini. Assalamualaikum warrahmatullah
wabarakatuh………….”, buka Fahmi memimpin rapat.
“Banyak hal
yang pasti bisa dipetik dari kehidupan saudara-saudara kita yang kurang
beruntung disana. Semoga bisa menjadi media perbaikan diri juga untuk
kita semua, Amin”. Begitulah kalimat terakhir Fahmi seraya menutup
rapat Cool Magz sore itu.
Rapat redaksi berjalan lancar
seperti biasanya. Untuk agenda kali ini, kami akan mengadakan bakti
sosial ke Panti Asuhan Ar-Rahman minggu depan. Sekaligus meliput
kehidupan dan suka duka orang-orang yang tinggal didalamnya untuk
buletin mingguan.
***
Tak terasa, hari yang
kutunggu-tunggu datang juga. Kami akan mengunjungi panti asuhan sekitar
pukul 10 pagi. Segala sesuatunya dipersiapkan sebaik mungkin. Selain
beberapa perlengkapan meliput, kami juga membawakan sedikit bantuan
sembako dan buku-buku untuk adik-adik disana nanti. Sudah cukup lama
rasanya tidak datang ke panti asuhan. Rasanya tak sabar ingin cepat
sampai disana.
Sesampainya di Panti Asuhan Ar-Rahman, kami
disambut dengan baik oleh seluruh keluarga besar panti. Ramai dan ramah
sekali, karena penghuni panti rata-rata adalah anak-anak dan remaja
dibawah 15 tahun.
Bapak dan Ibu pengurus panti mulai
mempersilahkan kami semua untuk masuk. Seperti yang kubayangkan, ruang
tamu panti yang tidak begitu luas, dipenuhi dengan gambar dan karya
anak-anak pada dindingnya. Acara pun mulai dibuka, lantunan ayat suci
Al-qur’an yang dibacakan Rido membuat suasana semakin khidmat.
Setelah
acara formal selesai, sekarang giliran acara non-formal dari kami
redaksi Cool magz. Waktunya kami membagikan buku-buku dan megajak
adik-adik itu bermain.
Bercengkerama dan bersenda gurau,
kami semua menghibur mereka. Hingga tiba seorang gadis kecil
mendatangiku dengan wajah yang penuh senyum kebahagian, teduh sekali.
“Kak, terima kasih ya karena sudah mau datang kesini, bawain buku-buku lagi”, katanya memegangi tanganku.
Aku terpaku, diam. Kalimatnya sederhana, hanya ucapan terima kasih. Entah mengapa sampai begitu dalam menembus hati.
“Sama-sama, nama kamu siapa, dek ?”, tanyaku sambil berlutut dihadapannya.
“Nama aku Nadia. Aku kelas 3 SD, aku sudah di Panti ini sekitar 3 tahun”, jawabnya tak berhenti.
“Oh.. Nadia, salam kenal ya, nama kakak Lala. Nanti kapan-kapan kita main lagi kesini boleh kan ?”, kataku penuh harap.
“Iya boleh banget. Kakak udah mau pulang ya ? kalau aku titip pesan boleh ?”, tanya gadis kecil ini polos.
Sedikit bingung, aku melirik Syifa yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Syifa hanya tersenyum melihatku.
“Apa pesannya Nadia ?”
“Nadia
titip pesan untuk Ayah, kenapa Ayah gak pulang-pulang ? Nadia rindu
Ayah kak. Katanya Ayah mau kesini lagi jemput Nadia”, jawabnya dengan
mata tak berdosa.
Ya Allah.., aku tak pernah merasakan
hatiku sepilu ini. Pesan sederhana anak kecil ini membawaku pada ingatan
akan sosok Ayah yang selama ini membesarkanku. Merawatku dari kecil
bersama Ibuku. Tapi yang kurasakan adalah aku belum sepenuhnya berbakti
padanya. Belum sepenuhnya mengabdikan diriku padanya sebagai anak yang
baik. Wajahku memerah, rasanya ingin aku tumpahkan air mata ini. Syifa
mengingatkan untuk tenang dengan senyuman dan sentuhan lembutnya di
pundakku. Aku pun coba untuk menahan diri.
“Satu lagi kak,
bantu Nadia mendoakan Ibu Nadia ya, Semoga Ibu bisa tenang di Surganya
Allah. Pasti dia bahagia kan kak ?”, tambahnya penuh harapan.
Hatiku
remuk. Bagaimana mungkin anak perempuan ini bisa menanggung beban yang
sebegitu beratnya ? Sedangkan aku ? Jangankan terpikir akan kehilangan
orangtua, terpikir dengan tugas-tugas sekolah saja sudah membuatku
pusing tujuh keliling, seperti orang yang berhutang dan harus lari
karena dikejar-kejar debt collector. Sedangkan gadis ini ? Allah..
ampuni hamba-Mu yang tidak bersyukur ini.
Mataku basah. Pelupuk
mataku mulai tak sanggup membendungnya. Syifa pun turut haru akan pesan
gadis kecil ini. Kupeluk Nadia erat-erat, ku elus rambutnya dengan
lembut.
“Kakak, kenapa nangis ?”, tanyanya lagi polos,
melepaskan pelukanku. Tangan halusnya kemudian menyeka air mata yang
sudah terlanjur jatuh dipipi ini.
“Kakak terharu, Nadia sabar
sekali. Kakak selalu berdoa sama Allah, semoga Ayah bisa cepat pulang
dan main-main lagi dengan Nadia. Dan, semoga Allah memberikan tempat
terbaik untuk Ibu di Surga-Nya, AMIN..”, kataku dengan suara parau,
Syifa pun turut meng-Amin-kan.
Gadis kecil itu kemudian
pergi meninggalkan kami berdua. Aku masih dalam keharuan, bersama Syifa
yang terus menepuk-nepuk pundakku. Kulihat dia berlari lagi bersama
teman-temannya, tertawa, bersenda gurau, tanpa masalah. Wajah bahagia
dan senang yang selalu di tunjukkan olehnya. Penantian selama 3 tahun
karena ditinggal sang Ayah, bukanlah waktu yang sebentar. Belum lagi Ibu
yang telah tiada. Aku yakin semua anak disini merasakan hal yang sama
sepertinya. Rindu akan kasih sayang orang tua, akan belaian lembut orang
tua, akan nasihat dan kata-kata manis orang tuanya. Tapi yang terpancar
adalah aura positif dari mereka, anak-anak yang tak berdosa ini. Mereka
bahagia disini, mereka yang selalu bersyukur dengan segala keterbatasan
dan kekurangannya.
Nadia adalah perantara teguran Allah
kepadaku. Aku yang terus mengeluh jika terlalu banyak tugas. Aku yang
bisa ngambek hanya karena permintaanku tidak dipenuhi oleh orang tua.
Aku yang cengeng saat masalah-masalah datang. Harusnya aku lebih kuat,
aku lebih siap dibanding anak kelas 3 SD ini. Aku yang sudah baligh,
dikaruniakan-Nya nafas hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya akal
yang sehat hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya raga yang sehat
hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya kedua orang tua yang masih
utuh, yang sangat menyayangiku, yang selalu ada jika aku butuh mereka,
yang sanggup merawatku dari kecil, yang sanggup menyekolahkanku hingga
sekarang, yang bisa memenuhi permintaan-permintaan manjaku kapanpun.
Allah..,
hidayah-Mu akhirnya menghampiri. Tanda kebahagiaan bukanlah ketika
seseorang itu memiliki harta yang berlimpah, bukanlah ketika seseorang
itu memiliki jabatan yang tinggi, bukanlah ketika seseorang itu memiliki
wajah yang rupawan, bukanlah ketika seseorang itu memiliki tubuh dan
raga yang sempurna. Tapi kebahagiaan selalu datang ketika seseorang
senantiasa bersyukur atas apa yang telah dimilikinya, atas apa yang
telah diperolehnya selama ini, dan atas segala sesuatu yang Allah
anugerahkan untuknya. Sekecil apaupun itu, bahkan mungkin yang tak
terlihat dan tak tersadarkan.
Renunganku dalam tangis terpecah seketika oleh teman-temanku yang menghampiri.
“Kita juga terharu dengan kehidupan disini La.., berarti ini jadi pelajaran juga buat kita”, kata Vina menenangkan.
Aku pun tersenyum. “Iya, Bismillah.. Allah selalu bersama hamba-hamba-Nya yang sabar”, kataku dengan nada sesenggukan.
Suasana
haru masih terlihat jelas. Semua teman-teman dari redaksi Cool Magz
juga merasakan banyaknya hikmah dari berkunjung ke panti asuhan hari
ini. Ingin rasanya berlama-lama di tempat ini untuk hanya sekedar
menghibur dan berbagi dengan mereka. Waktu mengingatkanku untuk segera
pulang ke rumah, memohon maaf pada dua orang terbaik yang mengasihiku
selama hampir 17 tahun ini. Kami pun segera menyudahi haru biru ini
dengan pamit pulang pada pihak panti.
Alhamdulillah…
Kunjungan singkat hari ini benar-benar memberikan pengalaman yang luar
biasa. Ku tekadkan janji untuk selalu bersyukur setiap saat atas segala
nikmat yang Allah beri. Semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik
lagi kedepannya. Semoga bisa menjadi muslimah dengan tebaran manfaat ke
sekelilingnya. Amin.. Amin.. Ya Rabbal alamin..
See you on the next story :)
Cerita Lala #1
SABAR LALA… (Part 2)
Langkah kaki ramai
terdengar, kantin sekolah sekarang dipenuhi dengan deretan siswa-siswi
yang sibuk menikmati makan siang. Begitu pula aku dan sahabat-sahabatku
yang sedang asyik menyantap mie ayam langganan kami.
“makanya la, jangan telat lagi, minggu depan kita udah ujian”, kata Rendi membuka kenangan semi buruk tadi pagi.
“iya,
janji, gak bakalan telat. Woles bro..”, jawabku santai. Dodit dan Jono
yang mendengarkan jawabanku tadi hanya sibuk senyum-senyum menahan tawa.
Sementara Syifa hanya diam, sambil terus menepuk pundakku, “Sabar
Lala..”, katanya.
Hari ini cukup melelahkan. Mengingat segala
usaha yang kulakukan demi mendapatkan nilai bagus, ternyata berujung
pada tertawaan dari teman-temanku. Capek, kesal, sedih, bingung,
ngantuk, semuanya bercampur aduk jadi satu. Kejadian tadi pagi
benar-benar merusak mood-ku.
Sadar, aku mungkin merencanakan
semuanya secara kompleks, tapi tetap saja hasil akhir terletak pada
keputusan-Nya juga. Selalu yakin, bahwasannya tidak ada yang sia-sia di
dunia ini.
Just do the best, and Let Allah does the rest J
NB :
Cerita
Lala adalah karya pertama saya yang di publish di social media. Hanya
salah satu bentuk dedikasi atas kecintaan dan kepedulian saya terhadap
cerita anak-anak dan remaja. Jadi, memang sengaja dikemas dengan bahasa
sesederhana mungkin. Dengan konsep yang berbau islami, Semoga Cerita
sederhana ini dapat menjadi inspirasi bagi yang membaca. Untuk
menyampaikan suatu pesan moral/motivasi tidak harus dengan bahasa yang
rumit/puitis kan ? hehe :D
Nantikan Cerita Lala #2 yaa..
SABAR LALA... (part 1)
Mataku silau, sinar mentari pagi masuk menyerbu ke dalam kamar. Kulihat jam dinding di kamar menunjukkan pukul 06.30 WIB. Astaghfirullah, aku lupa ! Pagi ini aku ada ujian dengan Bu Wirda. Tanpa menunggu lagi, langsung kuraih handuk dan bergegas mandi. Entah apa yang ada di pikiranku sekarang, aku merasa kacau. Mengingat tadi malam aku yang begadang lembur untuk memahami pelajaran dari guru matematika yang terkenal paling killer ini.
Aku berlari keluar lorong, sambil tergesa-gesa menyebrang jalan raya. Stop ! akhirnya ada angkot juga yang berhenti. Alhamdulillah.. aku merasa sedikit lega setelah naik kendaraan berwarna kuning ini. Pikiranku masih melayang-layang, tentang apakah aku akan terlambat masuk kelas ? apakah ibu Wirda sudah datang ? apakah ujian sudah dimulai ?
Selama di perjalanan, aku masih sibuk berkutat dengan buku. Membunuh waktu, menenangkan hati, dan terus berpikir semuanya akan baik-baik saja. Beberapa kali aku mendengar suara getaran Handphone dari dalam tas, tapi tak kuhiraukan. Akhirnya… sampai juga di depan gerbang sekolah. Segera aku berlari menuju kelas XI IPA 2 yang jaraknya lumayan membuat kaki pegal.
Deg ! sontak langkahku terhenti melihat pemandangan di dalam kelas dari luar jendela. Ya Allah… Ibu Wirda sudah masuk. Kurogoh handphone dari dalam tas, demi apapun ini masih pukul 07.00 WIB. Kurapikan jilbab dan baju seragam sekolahku, kemudian memberanikan diri mengetok pintu kelas,
“Assalamualaikum.. Permisi bu, maaf saya telat”, kataku lembut dengan muka yang pasti sangat merah dan keringat yang bercucuran.
“Lala, telat ? kesini…” , jawab Bu wirda datar.
Keadaan didalam kelas berubah drastis. Teman-teman yang lain sibuk memperhatikan gelagatku dengan serius. Aku merasa seperti reka adegan pembunuhan sekarang, dengan aku sebagai tersangkanya. Dengan langkah terseok-seok, kudekati kursi singgahsana Bu Wirda.
“kenapa bisa telat ?”, Tanya Bu Wirda masih datar.
“hmm.., saya kesiangan bu, Maaf sebelumnya”, jawabku kaku.
“kenapa bisa kesiangan Lala ? Bukannya kamu belum pernah telat ?” tambah Bu wirda, sedikit bernada.
Suasana kelas masih hening. Pandanganku tertuju pada beberapa murid yang duduk di bangku paling depan, sambil senyum-senyum. Ialah syifa, jono, Dodit, dan Rendi. Masih dengan senyum jahat mereka terus melirik-lirik, namun tetap berusaha menahan tawa yang ingin lepas.
“Lala.., Ibu sedang bertanya”, sambar Bu Wirda mengalihkan pandanganku.
“Iya bu, saya minta maaf, Saya gak bermaksud telat. Saya tadi malam begadang belajar untuk ujian pagi ini Bu”, jawabku sigap.
“Terus kamu gak shalat shubuh ?”, balas Bu Wirda
“shalat kok bu, saya belajardari jam 7 malam sampai jam 11 malam, terus saya tidur lagi, terus saya bangun lagi jam 2, terus saya belajar sampe pagi, tapi saya tetep shalat shubuh kok Bu. Tapi saya tidur lagi. Maaf bu..”, jawabku dengan kepanikan memuncak.
Keheningan kelas pecah seketika karena jawabanku tadi. Teman-temanku malah sibuk tertawa sekarang.
“Maafin saya Bu. Saya bener-bener minta maaf. Saya janji untuk gak mengulanginya lagi. Insya Allah Bu”, sambungku dengan mata penuh harapan.
“ Ya sudah, Ibu maafkan. Hari ini kita gak jadi ujian, soalnya Ibu lupa ada 1 materi lagi yang belum di kasih ke kalian. Silahkan duduk Lala”, jawab Bu wirda santai.
Suasana kelas makin riuh karena tawa. Darahku rasanya berhenti mengalir, Otakku rasanya mau pecah sekarang. KOPLAK ! kata-kata itu rasanya paling pas menggambarkan keadaanku hari ini. Ya Allah… Udah belajar sampe jungkir balik, telat masuk ke kelas dengan muka lusuh berkeringat karena lari-larian, di tertawai teman sekelas, dan ternyata gak jadi ujian ? OH MY TO THE GOD..
(bersambung….)