Cerita Lala #2

13.33

Cerita Lala #2

Bahagia itu dekat pada hati yang bersykur :)

Senin adalah hari yang paling melelahkan bagiku. Bagaimana tidak ? hari ini, adalah hari tersibuk dari tujuh hari yang ada. Mulai dari aku yang harus berangkat pagi-pagi untuk melaksanakan piket kelas, jam pelajaran pertamaku harus bertemu dengan Ibu Wirda, belum lagi diikuti dengan pelajaran yang semuanya berbau eksak. Rasanya sesak sekali.

Yang ada di otakku cuma kalimat ‘Badai pasti berlalu’, sesulit apapun hari pasti akan selalu berakhir. Pagi akan diakhiri malam, matahari yang terbit akan selalu tenggelam di kala senja tanpa perlu diatur. Maka kekuatan untuk menjalani segala sesuatunya telah tertanam dalam benakku. ‘Pokoknya jalani aja, baik atau buruk hasilnya itu urusan belakangan. Ikhlas gak ikhlas pokoknya jalanin.. !’. Fiuuhhh….

“Lala..”, terdengar suara sepatu mendekat dari belakang. Ternyata Fahmi, ketua ekskul Cool Magz di sekolah.
“Oh.. Fahmi, kenapa ?”, jawabku seraya menoleh ke arahnya.
“Aku cuma mau bilang, jangan lupa nanti ada rapat anggota pengurus Cool Magz habis pulang sekolah”, katanya mengingatkan.
“Oh iya, tentang acara kita yang mau bakti sosial itu ya ? Oke sip bos, nggak bakal lupa kok”, kataku sambil  tersenyum lugu.
“Oke.., duluan ya..”, sambung Fahmi, kemudian pergi.

Di sekolah, aku tergabung dalam 2 organisasi, yaitu OSIS dan Cool Magz (School Magazine). Selain belajar, 2 hal itulah yang membuatku cukup sibuk. Harapanku untuk selalu bisa bermanfaat dan berkontribusi untuk orang banyak adalah dengan mewadahi diriku sendiri untuk bersosialisasi ke masyarakat. Salah satu caranya, menurutku dengan ikut andil dalam kegiatan-kegiatan didalamnya.

***

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Kulihat rak di depan ruang redaksi Cool Magz mulai dipenuhi dengan sepatu-sepatu dari kejauhan.

“Assalamualaikum.. oh, udah rame..”,  sapaku ramah.
Benar saja, ruangan  redaksi sudah hampir penuh dengan para anggota. Aku pun langsung mengambil tempat duduk di sebelah Syifa, sahabatku.
“Kamu dari mana La ? tadi aku tungguin depan kelas nggak ada, makanya aku duluan”, tanyanya agak bingung.
“Iya, tadi kan aku keluar kelas duluan. Aku mau ke toilet dulu soalnya”, jawabku menenangkan. Sambil menunggu yang lainnya, aku, Syifa, dan teman lainnya asyik berdiskusi tentang berita-berita yang sedang hangat dibicarakan.

“ Baiklah, karena anggota sudah lengkap, mari kita buka rapat kali ini. Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh………….”, buka Fahmi memimpin rapat.

“Banyak hal yang pasti bisa dipetik dari kehidupan saudara-saudara kita yang kurang beruntung disana. Semoga bisa menjadi media perbaikan diri juga untuk kita semua, Amin”.  Begitulah kalimat terakhir Fahmi seraya menutup rapat Cool Magz sore itu.

Rapat redaksi berjalan lancar seperti biasanya. Untuk agenda kali ini, kami akan mengadakan bakti sosial ke Panti Asuhan Ar-Rahman minggu depan. Sekaligus meliput kehidupan dan suka duka orang-orang yang tinggal didalamnya untuk buletin mingguan.

***

Tak terasa, hari yang kutunggu-tunggu datang juga. Kami akan mengunjungi panti asuhan sekitar pukul 10 pagi. Segala sesuatunya dipersiapkan sebaik mungkin. Selain beberapa perlengkapan meliput, kami juga membawakan sedikit bantuan sembako dan buku-buku untuk adik-adik disana nanti. Sudah cukup lama rasanya tidak datang ke panti asuhan. Rasanya tak sabar ingin cepat sampai disana.

Sesampainya di Panti Asuhan Ar-Rahman, kami disambut dengan baik oleh seluruh keluarga besar panti. Ramai dan ramah sekali, karena penghuni panti rata-rata adalah anak-anak dan remaja dibawah 15 tahun.

Bapak dan Ibu pengurus panti mulai mempersilahkan kami semua untuk masuk. Seperti yang kubayangkan, ruang tamu panti yang tidak begitu luas, dipenuhi dengan gambar dan karya anak-anak pada dindingnya. Acara pun mulai dibuka, lantunan ayat suci Al-qur’an yang dibacakan Rido membuat suasana semakin khidmat.

Setelah acara formal selesai, sekarang giliran acara non-formal dari kami redaksi Cool magz. Waktunya kami membagikan buku-buku dan megajak adik-adik itu bermain.

Bercengkerama dan bersenda gurau, kami semua menghibur mereka. Hingga tiba seorang gadis kecil mendatangiku dengan wajah yang penuh senyum kebahagian, teduh sekali.
“Kak, terima kasih ya karena sudah mau datang kesini, bawain buku-buku lagi”, katanya memegangi tanganku.
Aku terpaku, diam. Kalimatnya sederhana, hanya ucapan terima kasih. Entah mengapa sampai begitu dalam menembus hati.
“Sama-sama, nama kamu siapa, dek ?”, tanyaku sambil berlutut dihadapannya.
“Nama aku Nadia. Aku kelas 3 SD, aku sudah di Panti ini sekitar 3 tahun”, jawabnya tak berhenti.
“Oh.. Nadia, salam kenal ya, nama kakak Lala. Nanti kapan-kapan kita main lagi kesini boleh kan ?”, kataku penuh harap.
“Iya boleh banget. Kakak udah mau pulang ya ? kalau aku titip pesan boleh ?”, tanya gadis kecil ini polos.

Sedikit bingung, aku melirik Syifa yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Syifa hanya tersenyum melihatku.
“Apa pesannya Nadia ?”
“Nadia titip pesan untuk Ayah, kenapa Ayah gak pulang-pulang ? Nadia rindu Ayah kak. Katanya Ayah mau kesini lagi jemput Nadia”, jawabnya dengan mata tak berdosa.

Ya Allah.., aku tak pernah merasakan hatiku sepilu ini. Pesan sederhana anak kecil ini membawaku pada ingatan akan sosok Ayah yang selama ini membesarkanku. Merawatku dari kecil bersama Ibuku. Tapi yang kurasakan adalah aku belum sepenuhnya berbakti padanya. Belum sepenuhnya mengabdikan diriku padanya sebagai anak yang baik. Wajahku memerah, rasanya ingin aku tumpahkan air mata ini. Syifa mengingatkan untuk tenang dengan senyuman dan sentuhan lembutnya di pundakku. Aku pun coba untuk menahan diri.

“Satu lagi kak, bantu Nadia mendoakan Ibu Nadia ya, Semoga Ibu bisa tenang di Surganya Allah. Pasti dia bahagia kan kak ?”, tambahnya penuh harapan.

Hatiku remuk. Bagaimana mungkin anak perempuan ini bisa menanggung beban yang sebegitu beratnya ? Sedangkan aku ? Jangankan terpikir akan kehilangan orangtua, terpikir dengan tugas-tugas sekolah saja sudah membuatku pusing tujuh keliling, seperti orang yang berhutang dan harus lari karena dikejar-kejar debt collector. Sedangkan gadis ini ? Allah.. ampuni hamba-Mu yang tidak bersyukur ini.
Mataku basah. Pelupuk mataku mulai tak sanggup membendungnya. Syifa pun turut haru akan pesan gadis kecil ini. Kupeluk Nadia erat-erat, ku elus rambutnya dengan lembut.

“Kakak, kenapa nangis ?”, tanyanya lagi polos, melepaskan pelukanku. Tangan halusnya kemudian menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh dipipi ini.
“Kakak terharu, Nadia sabar sekali. Kakak selalu berdoa sama Allah, semoga Ayah bisa cepat pulang dan main-main lagi dengan Nadia. Dan, semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk Ibu di Surga-Nya, AMIN..”, kataku dengan suara parau, Syifa pun turut meng-Amin-kan.

Gadis kecil itu kemudian pergi meninggalkan kami berdua. Aku masih dalam keharuan, bersama Syifa yang terus menepuk-nepuk pundakku. Kulihat dia berlari lagi bersama teman-temannya, tertawa, bersenda gurau, tanpa masalah. Wajah bahagia dan senang yang selalu di tunjukkan olehnya. Penantian selama 3 tahun karena ditinggal sang Ayah, bukanlah waktu yang sebentar. Belum lagi Ibu yang telah tiada. Aku yakin semua anak disini merasakan hal yang sama sepertinya. Rindu akan kasih sayang orang tua, akan belaian lembut orang tua, akan nasihat dan kata-kata manis orang tuanya. Tapi yang terpancar adalah aura positif dari mereka, anak-anak yang tak berdosa ini. Mereka bahagia disini, mereka yang selalu bersyukur dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.

Nadia adalah perantara teguran Allah kepadaku. Aku yang terus mengeluh jika terlalu banyak tugas. Aku yang bisa ngambek hanya karena permintaanku tidak dipenuhi oleh orang tua. Aku yang cengeng saat masalah-masalah datang. Harusnya aku lebih kuat, aku lebih siap dibanding anak kelas 3 SD ini. Aku yang sudah baligh, dikaruniakan-Nya nafas hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya akal yang sehat hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya raga yang sehat hingga detik ini. Aku yang dikaruniakan-Nya kedua orang tua yang masih utuh, yang sangat menyayangiku, yang selalu ada jika aku butuh mereka,  yang sanggup merawatku dari kecil, yang sanggup menyekolahkanku hingga sekarang, yang bisa memenuhi permintaan-permintaan manjaku kapanpun.

Allah.., hidayah-Mu akhirnya menghampiri. Tanda kebahagiaan bukanlah ketika seseorang itu memiliki harta yang berlimpah, bukanlah ketika seseorang itu memiliki jabatan yang tinggi, bukanlah ketika seseorang itu memiliki wajah yang rupawan, bukanlah ketika seseorang itu memiliki tubuh dan raga yang sempurna. Tapi kebahagiaan selalu datang ketika seseorang senantiasa bersyukur atas apa yang telah dimilikinya, atas apa yang telah diperolehnya selama ini, dan atas segala sesuatu yang Allah anugerahkan untuknya. Sekecil apaupun itu, bahkan mungkin yang tak terlihat dan tak tersadarkan.

Renunganku dalam tangis terpecah seketika oleh teman-temanku yang menghampiri.
“Kita juga terharu dengan kehidupan disini La.., berarti ini jadi pelajaran juga buat kita”, kata Vina menenangkan.
Aku pun tersenyum. “Iya, Bismillah.. Allah selalu bersama hamba-hamba-Nya yang sabar”, kataku dengan nada sesenggukan.

Suasana haru masih terlihat jelas. Semua teman-teman dari redaksi Cool Magz juga merasakan banyaknya hikmah dari berkunjung ke panti asuhan hari ini. Ingin rasanya berlama-lama di tempat ini untuk hanya sekedar menghibur dan berbagi dengan mereka. Waktu mengingatkanku untuk segera pulang ke rumah, memohon maaf pada dua orang terbaik yang mengasihiku selama hampir 17 tahun ini. Kami pun segera menyudahi haru biru ini dengan pamit pulang pada pihak panti.

Alhamdulillah… Kunjungan singkat hari ini benar-benar memberikan pengalaman yang luar biasa. Ku tekadkan janji untuk selalu bersyukur setiap saat atas segala nikmat yang Allah beri. Semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi kedepannya. Semoga bisa menjadi muslimah dengan tebaran manfaat ke sekelilingnya. Amin.. Amin.. Ya Rabbal alamin..


See you on the next story :)

You Might Also Like

0 comments