Opini

YOU - Novel fiksi romance pertamaku di Wattpad :)

10.32


Preview :
"Lambat laun, dia akan berlabuh jua. Mendekat pada tepiannya. Merapat pada dermaganya. Jika aku berhak memilih, maka kau akan jadi labuhan terakhir bagi perahu ini. Aku temukan kau dermaga benderang di antara temaram. Semoga bukan sekedar mimpi di siang bolong atau halnya menanti pelangi di malam hari. Semoga saja..."
Begitulah kira-kira tulisan gadis 21 tahun itu di buku catatannya. Nissa ingin terus berlayar mengikuti arus, sesederhana air yang mengalir ke muara. Ia hanya berharap tak tersesat jauh. Sadar akan kesalahannya yang sudah terlanjur menakhodai perahu ini dengan hati bukan akal. 
Perasaannya mulai goyah, 
Apakah benar  orang itu yang selama ini dia cari ?
Apakah orang itu benar-benar satu rasa dengannya ?

Nissa tidak ingin berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan itu, apalagi berkeras dengan jawaban iya. Namun mereka berhasil menjadi hantu di hati dan pikirannya. Sekarang ia hanya ingin terbebas dari semua itu, menjalani hidup sebagaimana gadis normal lainnya. 

Sedalam apapun, rasa penasaran itu tetap tidak akan bisa membunuhnya. Sebaliknya, ia justru tidak ingin tahu jika pada akhirnya laki-laki itu memang bukan takdirnya. Sekali lagi, ia berharap segalanya mengalir ...
**********************************************
Baca Novel Fiksi pertamaku di Wattpad !
YOU
https://www.wattpad.com/user/trilisautami




Prosa

Matahari Kan Tenggelam

11.56

Masih ingat, ketika kau mengungkap mimpi. Meminta aku menampungnya dalam gelas-gelas kaca. Semuanya, meluap hingga kebingungan.

Masih ingat, ketika kau menyingkap keluh. Meminta aku menampungnya dalam piring-piring beling. Semuanya, menggunung hingga keresahan.

Masih ingat, tentang aku sebelum memulai kisah. Memilih pergi tanpa sepatah kata terucap, menguras hatimu dengan ribuan pertanyaan. Kisah-kisah klasik akan menjadi sahabat bagi masa lalu, sesekali mereka akan bercengkrama tuk memandang tawa, canda, sedih dan marah yang telah habis dimakan waktu.

Masih ingat, saat ku sampaikan pilihanku menuai kasih, merangkai cita dalam alunan langkah baru. Lorong-lorong  kecil yang kian terang benderang, akhirnya sampai pula aku pada ujungnya.
Bumi yang terus berputar, perlahan menyeretku pada pantai perpisahan. Memaksaku melihat matahari yang kan tenggelam. Seakan-akan berbisik, "sampai bertemu di pangkalan surga".

Siang bergantian dengan malam, menjagaku hingga terlelap. Melelapkan gundah, melenyapkan gusar dalam keheningan. Malam mencintaiku seperti halnya bulan pada langit. Takkan hilang apalagi berpaling. Kecuali awan-awan hitam yang berusaha merusak keharmonisan keduanya. Namun, pagi akan segera membangunkanku. Menarik gelisah dalam palung hati, menjemputnya untuk berlabuh lagi.

Setelahnya, akan ada rindu pada malam. Malam yang memperbolehkan aku lupa sejenak pada beban diri. Malam yang mengizinkan aku singgah pada mimpi-mimpi indah.

Setelahnya, akan ada jiwa yang harus berdamai. Damai dengan embun-embun pagi dan matahari terbit.


Setelahnya, akan kembali seperti sedia kala.


Prosa

Sebelum Memulai Kisah

11.46

Pagi ini, ceritamu sampai padaku. Gulungan kertas kecil dengan goresan hitam dibawa oleh merpati putih. Klasik sekali.

Sambil menyeruput kopi, aku membaca. Membaca rindu-rindu yang kau sajikan dalam untaian kata. Sambil menggigit biskuit, aku membaca. Membaca warna-warna harimu yang kau gambarkan dengan tinta.

Kau memujinya. Perahu kayu yang aku siarkan sampai ke negerimu kemarin, ia tak jadi karam. Tiba jua ia pada labuhannya. Labuhan yang bukan impian, namun mengasihinya. Labuhan yang penuh dengan keasingan, namun melindunginya. Hingga tergopoh-gopoh, ia tetap sampai ke tepian.

Kau menyadarinya. Aku yang pergi bersama kekalutanmu. Memilih sendiri, membuang keresahanmu. Memilih sendiri, mengendapkan lara-laramu. Memilih jauh untuk menyelamatkanmu.

Kau menangisinya. Aku yang hilang seperti asap. Terbang terbawa angin, kemudian buyar di udara. Menutup cerita di lembaran masa lalumu. Meniti langkah di lorong yang baru.

Kau melepaskannya. Aku yang dibawa arus laut dan ombak, takkan pernah kembali ke silam. Takkan menyapamu lagi di gubuk kecil, tempat kau biasa menyimpan mimpi.

Untuk merindangkan kebahagiaan, ternyata butuh jarak dan waktu. Seperti halnya kata-kata yang dipisahkan oleh spasi. Lebih indah dari pada terus bersambungan. Manis terbaca dari setiap sisi.


Aku katakan. Tentang pilihanku menuai kasih. Tentang suka dan duka yang tlah lalu. Aku katakan ini, sebelum memulai kisah baru.


Prosa

Perahu Ini Kayu

16.40

Lautan ini terlalu luas, aku bahkan tak berharap sempat menemukan ujungnya. Hampir mati rasa tanganku mengayuh sampan. Hari demi hari perahu ini berlayar, mengarung bebas, lepas.

Lautan ini terlalu luas, aku bahkan tak cukup mampu melawan ombaknya. Hingga berpeluh keringat di pelipis, aku tak menganggap ini sadis. 


Perahu ini kayu, beruntung bukan kertas. Masih terlihat tak sekuat baja, namun dia tak selemah yang kau kira. Menampung asa, aku kan segera sampai ke tujuan. Disambut dengan sekuntum mawar merah, aku melihatmu berdiri di seberang sana.



Perahu ini kayu, dia tak banyak pilihan. Sesederhana air yang mengalir ke muara. Tak pernah risau akan tersesat. 

Perahu ini kayu, jangan biarkan dia karam ditelan lautan. Tenggelam bersama cita dan cinta yang sudah dinanti-nantikan. Atau malah tertangkap, terampok oleh perompak lain. Jangan biarkan.

Lambat laun, dia akan berlabuh jua. Mendekat pada tepiannya. Merapat pada dermaganya.
Jika aku berhak memilih, maka kau akan jadi labuhan terakhir bagi perahu ini. Aku temukan kau dermaga benderang di antara temaram. 
Semoga bukan sekedar mimpi di siang bolong atau halnya menanti pelangi di malam hari. 
Semoga saja.


-Lisa-


Prosa

Ketika Langit Mengelabu

00.38

Ketika langit mengelabu, guntur mulai beriringan sahut menyahut. Tapi dia tak kunjung datang. Ku hentikan langkahku pagi ini. Tepat di depan pintu, kuingat masa-masa itu, mengantarmu pulang hingga hilang depan gerbang. Kembali lagi  tenggelam dalam lamunan.

Satu per satu lembaran memori dibuka. Usaha mencari potongan peristiwa yang tak sengaja terselip di antara segudang tumpukan ingatan ternyata cukup sulit. Semua sudah dibongkar habis, yang terlihat hanya buku-buku putih dengan goresan hitam. Masih ingat betul aku tuliskan itu dengan tinta merah. Jikalau hendak ulang membaca, maka tak perlu kerja rodi menemukannya. Merah tentunya menyala. Kuduga-duga, namun tak kunjung ada.

Mungkin terlalu lama, hingga tak terlihat lagi rimbanya. Saksi bisu pun tak berdaya, terpenjara dalam keheningan. Tercekat, sel darah ini membabi buta, berdesak desakan naik ke otak. Pasukan oksigen memaksaku, menggeledah kembali tiap ruangnya. Malah tiap celah. Daya semakin menurun, kemudian mereka pergi dengan kibaran bendera putih. Tanpa bersalah dengan isi kepalaku yang berserakan.


Tatapan lurus seketika berbelok, menabrak dinding realita. Wajah pucat pasih pasca penyerangan tadi, ternyata telah diselimuti air dari pelupuk mata. Hari ini masih terlalu mendung untuk mengeringkannya. Aku lupa. Aku lupa padamu dan hal itu. Sampai hati, harus kukabarkan hal itu pada masa lalu. Hampir semuanya, kecuali jejak kepergianmu di depan pintu. Saat ini, saat itu, tepat pada waktu yang sama.     

Prosa

Kemarin

10.38

Kemarin, aku melihat langit mendung.
Suara-suara alam menggelegar dari atas sana.
Deras, hujan jatuh.
Basah, menggenangi kerak bumi.
Ya, kemarin.

Kemarin takkan berulang tapi bukan berarti lekang.
Kemarin itu kelam maka esok haruslah terang.
Kemarin hanya ada ketakutan maka esok akan ada keberanian.
Kemarin jiwa-jiwa mati terkubur maka esok akan jadi hari kebangkitan para zombie.
Kemarin, hanyalah bayangan hitam yang menghantui.
Momok bagi mimpi-mimpi yang menjulang.
Kemarin, tenggelamkanlah bersama sesal. Terendap.
Kemarin, aku tidak akan pernah lupa.
 

Prosa

Ruang

12.43

          Ada beberapa waktu tersisa untuk kita sekedar bersenda gurau. Tapi yang kurasa hilanglah sudah. Ruang yang pernah kita damba dahulu, kita damba bersama, tak meninggalkan bekas apapun kecuali lengang. Dinding putih yang berubah menjadi suram. Kursi-kursi pun tak bernyawa lagi. Bayangan-bayangan gelap yang selalu menyelimuti. Hanya untaian debu yang kulihat sangat bahagia, menari, mengelilingi, menutupi semua sisi yang ada bersama.
          
          Kita berangan-angan, merangkai dan menata segalanya dalam ruang. Menyusun semuanya dengan rapi, memperbaiki yang berantakan entah berantah. Vas-vas bunga nan indah mewarnai hari kita dalam ruang. Detik yang dilalui hampir jelas tak terasa, karena ruang ini tak pernah terasa hampa. Ruang yang biasa mendengarkan segalanya, celotehan, candaan, keluhan, dan amarah sekalipun. Inilah ruangku, mungkin juga ruang kita.
          
            Tapi ruang tinggalah ruang. Semua yang kurasa sempurna haruslah lenyap dalam sekejap. Ego kita yang tak berkesudahan menjadikannya berantakan. Bunga-bunga yang sempat kita rawat bersama kemudian layu, gugur satu persatu mahkotanya. Benteng pertahanan kita mampu ditembus sang debu.
          
              Kesadaran dan kesabaran yang ada kemudian sirna, hilang begitu saja. Nyanyian riang yang  dulunya selalu saja terputar, lekas terhenti. Karena kesalahanku kah ? Entahlah, entah bagaimana. Aku terlalu beralasan.
          
          Aku tak pernah melepaskan mimpiku barang sedetik pun. Aku tidak pernah berusaha melampiaskan dendam dalam noda hitam di dinding ruang ini. Aku tidak pernah berpikir membuat segalanya jadi berantakan. Jauh dari itu, aku sangat mengasihi ruang yang tak berdosa ini. Tapi aku tetaplah manusia. Ada ribuan alasan yang membuat diri ini harus bungkam. Aku ingin menjaga semuanya, semua yang ada dalam ruang ini. Ruang yang penat dan pengap, aku coba buatkan jendela yang lebih lebar.
          
          Semuanya berubah. Kita dan semuanya. Senyuman lebar kini bisa berganti jadi tatapan mengerikan. Walau aku yakin, gelombang maaf sebesar apapun tidak akan mampu menenggelamkan kekecewaanmu. Walau gelombang itu dibangun dengan air mataku sendiri. Apakah hati kita yang terlalu keras atau hanya akalku yang kurang sehat ? Entahlah.
          
              Ruang akan selalu dibutuhkan. Dalam sepi, dalam ramai, dalam sedih, dalam bahagia, dalam kecewa, ataupun dalam puas kelegaan. Ruang ini hanya perlu ditata kembali. Ruang ini hanya perlu diperbarui kembali. Ataukah kita butuh ruang yang baru ? Entahlah, mungkin saja.
         
           Mungkin saja ruang hati ataupun ruang hidup kita yang bermasalah. Tapi sejujurnya, semua ini bukanlah keinginan. Waktu dan keadaan yang tidak sepakat. Kedewasaan kita mungkin sedang diuji.

          Ruang.

          Ketahuilah, Aku tidak pernah pergi. :)