Cerita Lala #3
19.33
Adakalanya kita merasa harus pergi. Adakalanya pula kita merasa harus kembali. Kemana ? Entahlah, aku pun tak tahu jawabannya.
Cuaca hari ini terik. Kurasakan semuanya lewat jendela yang terbuka. Angin silih berganti rebutan ingin menggapai helaian tirai yang sedikit-sedikit tersibak. Asing. Seketika saja khayalanku berselancar, mengarungi kenangan-kenangan yang tak kunjung habis. Terlalu bebas. Bahkan tak sadar gelombang besar menghantam hingga kutemukan diri ini tenggelam. Jauh, dalam, entah berapa ratus meter, atau mungkin ratusan kilometer ? palung tak berujung
“lala, kamu harus makan.,”, wanita itu menyodorkan beberapa potong roti ke hadapanku.
“belum nafsu bu”,jawabku tanpa semangat.
“mau sampai kapan ? setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Setiap yang hidup akan mati. Bukan hak kita melarang segala sesuatunya terjadi. Itu sudah menjadi rutinitas Allah yang meniupkan ruh pada setiap janin yang lahir. Dan mengambilnya kembali dalam waktu yang telah Dia tentukan”.
Aku tertegun. Rasanya sulit menerima apa yang dikatakan ibu barusan. Hati ini masih remuk redam. Sel-sel otakku belum bisa mencerna dengan baik. Maka berimbas pada kehidupan sepuluh hari terakhir ini menjadi centang prenang. Tak karuan, kacau, atau bisa dibilang mati.
Hari ini adalah hari ke-sebelas setelah meninggalnya ayah. Manusia paling tampan dan paling tegas yang ada dihidupku. Sekarang hanya tinggal cerita, dia sudah pergi menghadap sang khaliq. Menghadap si Empunya yang telah dengan baik hati memberikan napas secara cuma-cuma selama kurang lebih 43 tahun.
“kamu harus mengerti, la. Bukan, lebih tepatnya lagi ikhlas… Kita do’akan yang terbaik”, katanya lagi. Cukup menenangkan, tapi percayalah sungguh aku tidak bisa bohong akan kehilangan ini. kudapati tubuhku sudah jatuh dalam pelukan wanita tegar ini. Usapannya yang begitu lembut dan rangkulan yang begitu hangat mengembalikanku pada alam sadarku setelah lama tertidur panjang.
Lebih dari satu pekanku habis hanya dengan mengurung diri di istana. Bak cerita dongeng rapunzel bersama penyihir jahat yang mengurungnya di menara tinggi. Dengan segala jenis mantera jahat agar sang putri tak bisa lari. Aku tahu, kekalutan ini adalah bagian dari emosi yang belum lepas, yang masih tertahan dengan berjuta alasan yang aku buat-buat sendiri. Tapi sihir-sihir jahat itu musnah seketika dengan satu mantera ‘IKHLAS..’. Awan-awan gelap itu menghilang, yang ada hanya rumput di sekitar yang semakin menghijau, matahari yang benderang mencahayai pada semua sudut yang mampu ia jangkau. Aku mengubah ceritanya, membuka lembaran baru, dan siap menggoreskan tinta pada halaman kosong hidup. ‘Life must Go on’.
Bersambung...
0 comments