Ketika langit
mengelabu, guntur mulai beriringan sahut menyahut. Tapi dia tak kunjung datang.
Ku hentikan langkahku pagi ini. Tepat di depan pintu, kuingat masa-masa itu,
mengantarmu pulang hingga hilang depan gerbang. Kembali lagi tenggelam dalam lamunan.
Satu per satu lembaran
memori dibuka. Usaha mencari potongan peristiwa yang tak sengaja terselip di
antara segudang tumpukan ingatan ternyata cukup sulit. Semua sudah dibongkar
habis, yang terlihat hanya buku-buku putih dengan goresan hitam. Masih ingat
betul aku tuliskan itu dengan tinta merah. Jikalau hendak ulang membaca, maka
tak perlu kerja rodi menemukannya. Merah tentunya menyala. Kuduga-duga, namun tak
kunjung ada.
Mungkin terlalu lama,
hingga tak terlihat lagi rimbanya. Saksi bisu pun tak berdaya, terpenjara dalam
keheningan. Tercekat, sel darah ini membabi buta, berdesak desakan naik ke
otak. Pasukan oksigen memaksaku, menggeledah kembali tiap ruangnya. Malah tiap
celah. Daya semakin menurun, kemudian mereka pergi dengan kibaran bendera putih.
Tanpa bersalah dengan isi kepalaku yang berserakan.
Tatapan lurus seketika
berbelok, menabrak dinding realita. Wajah pucat pasih pasca penyerangan tadi,
ternyata telah diselimuti air dari pelupuk mata. Hari ini masih terlalu mendung
untuk mengeringkannya. Aku lupa. Aku lupa padamu dan hal itu. Sampai hati,
harus kukabarkan hal itu pada masa lalu. Hampir semuanya, kecuali jejak
kepergianmu di depan pintu. Saat ini, saat itu, tepat pada waktu yang
sama.
Kemarin, aku melihat langit mendung.
Suara-suara alam menggelegar dari atas sana.
Deras, hujan jatuh.
Basah, menggenangi kerak bumi.
Ya, kemarin.
Kemarin takkan berulang tapi bukan berarti lekang.
Kemarin itu kelam maka esok haruslah terang.
Kemarin hanya ada ketakutan maka esok akan ada keberanian.
Kemarin jiwa-jiwa mati terkubur maka esok akan jadi hari kebangkitan para zombie.
Kemarin, hanyalah bayangan hitam yang menghantui.
Momok bagi mimpi-mimpi yang menjulang.
Kemarin, tenggelamkanlah bersama sesal. Terendap.
Kemarin, aku tidak akan pernah lupa.