Prosa

Matahari Kan Tenggelam

11.56

Masih ingat, ketika kau mengungkap mimpi. Meminta aku menampungnya dalam gelas-gelas kaca. Semuanya, meluap hingga kebingungan.

Masih ingat, ketika kau menyingkap keluh. Meminta aku menampungnya dalam piring-piring beling. Semuanya, menggunung hingga keresahan.

Masih ingat, tentang aku sebelum memulai kisah. Memilih pergi tanpa sepatah kata terucap, menguras hatimu dengan ribuan pertanyaan. Kisah-kisah klasik akan menjadi sahabat bagi masa lalu, sesekali mereka akan bercengkrama tuk memandang tawa, canda, sedih dan marah yang telah habis dimakan waktu.

Masih ingat, saat ku sampaikan pilihanku menuai kasih, merangkai cita dalam alunan langkah baru. Lorong-lorong  kecil yang kian terang benderang, akhirnya sampai pula aku pada ujungnya.
Bumi yang terus berputar, perlahan menyeretku pada pantai perpisahan. Memaksaku melihat matahari yang kan tenggelam. Seakan-akan berbisik, "sampai bertemu di pangkalan surga".

Siang bergantian dengan malam, menjagaku hingga terlelap. Melelapkan gundah, melenyapkan gusar dalam keheningan. Malam mencintaiku seperti halnya bulan pada langit. Takkan hilang apalagi berpaling. Kecuali awan-awan hitam yang berusaha merusak keharmonisan keduanya. Namun, pagi akan segera membangunkanku. Menarik gelisah dalam palung hati, menjemputnya untuk berlabuh lagi.

Setelahnya, akan ada rindu pada malam. Malam yang memperbolehkan aku lupa sejenak pada beban diri. Malam yang mengizinkan aku singgah pada mimpi-mimpi indah.

Setelahnya, akan ada jiwa yang harus berdamai. Damai dengan embun-embun pagi dan matahari terbit.


Setelahnya, akan kembali seperti sedia kala.


Prosa

Sebelum Memulai Kisah

11.46

Pagi ini, ceritamu sampai padaku. Gulungan kertas kecil dengan goresan hitam dibawa oleh merpati putih. Klasik sekali.

Sambil menyeruput kopi, aku membaca. Membaca rindu-rindu yang kau sajikan dalam untaian kata. Sambil menggigit biskuit, aku membaca. Membaca warna-warna harimu yang kau gambarkan dengan tinta.

Kau memujinya. Perahu kayu yang aku siarkan sampai ke negerimu kemarin, ia tak jadi karam. Tiba jua ia pada labuhannya. Labuhan yang bukan impian, namun mengasihinya. Labuhan yang penuh dengan keasingan, namun melindunginya. Hingga tergopoh-gopoh, ia tetap sampai ke tepian.

Kau menyadarinya. Aku yang pergi bersama kekalutanmu. Memilih sendiri, membuang keresahanmu. Memilih sendiri, mengendapkan lara-laramu. Memilih jauh untuk menyelamatkanmu.

Kau menangisinya. Aku yang hilang seperti asap. Terbang terbawa angin, kemudian buyar di udara. Menutup cerita di lembaran masa lalumu. Meniti langkah di lorong yang baru.

Kau melepaskannya. Aku yang dibawa arus laut dan ombak, takkan pernah kembali ke silam. Takkan menyapamu lagi di gubuk kecil, tempat kau biasa menyimpan mimpi.

Untuk merindangkan kebahagiaan, ternyata butuh jarak dan waktu. Seperti halnya kata-kata yang dipisahkan oleh spasi. Lebih indah dari pada terus bersambungan. Manis terbaca dari setiap sisi.


Aku katakan. Tentang pilihanku menuai kasih. Tentang suka dan duka yang tlah lalu. Aku katakan ini, sebelum memulai kisah baru.