Prosa

Ruang

12.43

          Ada beberapa waktu tersisa untuk kita sekedar bersenda gurau. Tapi yang kurasa hilanglah sudah. Ruang yang pernah kita damba dahulu, kita damba bersama, tak meninggalkan bekas apapun kecuali lengang. Dinding putih yang berubah menjadi suram. Kursi-kursi pun tak bernyawa lagi. Bayangan-bayangan gelap yang selalu menyelimuti. Hanya untaian debu yang kulihat sangat bahagia, menari, mengelilingi, menutupi semua sisi yang ada bersama.
          
          Kita berangan-angan, merangkai dan menata segalanya dalam ruang. Menyusun semuanya dengan rapi, memperbaiki yang berantakan entah berantah. Vas-vas bunga nan indah mewarnai hari kita dalam ruang. Detik yang dilalui hampir jelas tak terasa, karena ruang ini tak pernah terasa hampa. Ruang yang biasa mendengarkan segalanya, celotehan, candaan, keluhan, dan amarah sekalipun. Inilah ruangku, mungkin juga ruang kita.
          
            Tapi ruang tinggalah ruang. Semua yang kurasa sempurna haruslah lenyap dalam sekejap. Ego kita yang tak berkesudahan menjadikannya berantakan. Bunga-bunga yang sempat kita rawat bersama kemudian layu, gugur satu persatu mahkotanya. Benteng pertahanan kita mampu ditembus sang debu.
          
              Kesadaran dan kesabaran yang ada kemudian sirna, hilang begitu saja. Nyanyian riang yang  dulunya selalu saja terputar, lekas terhenti. Karena kesalahanku kah ? Entahlah, entah bagaimana. Aku terlalu beralasan.
          
          Aku tak pernah melepaskan mimpiku barang sedetik pun. Aku tidak pernah berusaha melampiaskan dendam dalam noda hitam di dinding ruang ini. Aku tidak pernah berpikir membuat segalanya jadi berantakan. Jauh dari itu, aku sangat mengasihi ruang yang tak berdosa ini. Tapi aku tetaplah manusia. Ada ribuan alasan yang membuat diri ini harus bungkam. Aku ingin menjaga semuanya, semua yang ada dalam ruang ini. Ruang yang penat dan pengap, aku coba buatkan jendela yang lebih lebar.
          
          Semuanya berubah. Kita dan semuanya. Senyuman lebar kini bisa berganti jadi tatapan mengerikan. Walau aku yakin, gelombang maaf sebesar apapun tidak akan mampu menenggelamkan kekecewaanmu. Walau gelombang itu dibangun dengan air mataku sendiri. Apakah hati kita yang terlalu keras atau hanya akalku yang kurang sehat ? Entahlah.
          
              Ruang akan selalu dibutuhkan. Dalam sepi, dalam ramai, dalam sedih, dalam bahagia, dalam kecewa, ataupun dalam puas kelegaan. Ruang ini hanya perlu ditata kembali. Ruang ini hanya perlu diperbarui kembali. Ataukah kita butuh ruang yang baru ? Entahlah, mungkin saja.
         
           Mungkin saja ruang hati ataupun ruang hidup kita yang bermasalah. Tapi sejujurnya, semua ini bukanlah keinginan. Waktu dan keadaan yang tidak sepakat. Kedewasaan kita mungkin sedang diuji.

          Ruang.

          Ketahuilah, Aku tidak pernah pergi. :)  

Puisi

Kita

21.34

Kita...
Kita berada pada sudut yang berbeda
Bukan karena keinginan
Mungkin saja busur ini yang salah

Kita berada pada arah yang berbeda
Bukan karena kemauan
Mungkin saja penunjuk ini yang salah

Kita berada pada dunia yang berbeda
Bukanlah sebuah harapan
Mungkin saja jarak yang tak bisa bersahabat
Atau waktu yang tak memberi restu

Tapi keyakinanku satu
Hati kita masih sama
Gelombangnya, getarannya, mahadaya tak terbendung
Hati kita terus sama
Mencari ujung jalan, menyusuri gelapnya lorong,
Dan aku percaya
Hati kita selalu sama
Saat ini,
Sampai nanti.



- Tri Lisa Utami -

Puisi

Coretan Lalu

12.05

Akan ada masa ketika mata menjadi buta
Telinga menjadi tuli
Dan tubuh lumpuh tak bergerak

Akan ada masa ketika hati lebur tak tertata
Penyakit menggorogoti setiap porinya
Tanpa ampun tanpa sisa

Tapi raga hanyalah tandu
Sedangkan jiwa yang jadi pandu
Tak mati walaupun tak berwujud
Sama sekali



- Tri Lisa Utami-